Thursday, May 18, 2017

Catatan kecil hoax

Dalam sebuah workshop yang saya ikuti sebelumnya ada sebuah materi yang menjadikan sebuah hal yang menarik menurut saya. Sebuah materi yang mengajarkan saya untuk intropeksi terhadap diri saya selama ini dalam melakukan interaksi melalui media sosial.

Dalam materi itu dinyatakan bahwa pembaca online sesungguhnya tidak membaca, tetapi skimming dan scanning terhadap apa yang di baca. 80 % tidak bisa membedakan mana yang fakta atau hoax. Hal ini juga tidak bisa kita pungkiri bahwa semakin berkembangnya media saat ini, semakin banyak pula media abal-abal yang muncul. Karena sifatnya yang mudah, murah dan lukratif, dapat iklan dari Google Adsense dan "iklan koneksi politik", kadang berpotensi melanggar UU Pers, UU Hak Cipta, UU ITE dan UU lainnya.

Hoax itu pesan yang faktanya dipalsukan makin marak lewat instant messaging yang sehari-hari kita pakai. Mari kita renungi dan baca seksama bahwa hoax pun memiliki ciri- ciri yang bisa kita baca, seperti menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan atau pemujaan. Selain itu sumber tidak jelas, tidak ada yang bisa dimintai klarifikasi atau tanggung jawab. Sifatnya pesan sepihak, menyerang atau membela saja. Mencatut nama tokoh berpengaruh. Medianya pakai nama mirip media terkenal. Memanfaatkan fanatisme, atas nama ideologi atau agama. Judul (pengantar) tidak cocok dengan isi. Tampilan/judul provokatif dan minta supaya di share atau diviralkan.

Dari apa yang menjadi ciri-ciri hoax diatas akhirnya terciptalah sebuah fenomena ruang gema (echo chamber). Orang hanya berkomunikasi dengan orang lain yang sudah sepikiran, sehingga memperteguh pikiran-pikiran mereka. Seperti gema suara pikiran-pikiran yang sama berulang dalam berbagai variasi memperkuat pandangan yang semakin mengental bahkan ekstrim dalam sistem yang tertutup. Hoax, rumor dan berita dari media abal-abal pun dianggap sebagai kebenaran karena sesuai dengan suara yang bergema.

Dampak dari maraknya hoax adalah masyarakat tidak memperoleh informasi yang benar, masyarakat menjadi saling curiga dan bermusuhan, ada opini yang sikap yang salah terhadap fakta, rawan terjadinya eskalasi konflik dan kerusuhan, terjadi pengelompokan dan radikalisme, proses keindonesiaan (imagine community) "terancam" gerakan radikalisme baru, industri media konvensional " terpinggirkan".

Dari dasar itulah negara bisa hadir lewat UU ITE. UU ITE merupakan upaya extensi norma dunia nyata ke dunia maya. Hal ini terletak di pasal 40 dari UU no 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik. Di pasal 40 pada ayat 2a dan 2b  inilah pemerintah melindungi kepentingan umum dan wajib mencegah content illegal.

Setelah payung hukum ada langkah selanjutnya adalah perlunya gerakan literasi penggunaan media sosial. Misalnya mendorong media nasional untuk menjadi klarifikator berita hoax. Kita ambil contoh ketika senin lalu kita dikejutkan oleh berita siaran pers dari kominfo terkait ransomware. Ketika kita hendak mengkakses web kominfo tersebut sedang down. Tetapi di media seperti detik telah ada pula berita itu, sehingga ini kita anggap sebagai fakta. Selain itu mari memunculkan budaya malu atau budaya salah jika ngeshare hoax.

Sekian catatan kecil saya. Mohon maaf apabila ada salah dalam penyampaian.

sumber